Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan salah satu fondasi penting dalam sistem hukum ekonomi modern, khususnya dalam melindungi hasil kreasi, invensi, serta identitas usaha. Di Indonesia, pelindungan terhadap HKI diatur dalam berbagai undang-undang, dan telah mengalami beberapa perubahan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan ketentuan internasional, termasuk TRIPS Agreement.[1]
[1] Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), Annex 1C to the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization, 1994.
Namun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap HKI masih kerap terjadi di Indonesia, baik dalam bentuk pembajakan karya, pemalsuan merek dagang, hingga penggunaan invensi yang tidak sah. Pelanggaran-pelanggaran ini bukan saja merugikan pemilik hak, melainkan juga menciptakan ketidakpastian hukum dan menurunkan daya saing nasional.
- Pelanggaran Hak Cipta, seperti pembajakan buku, film, musik, atau perangkat lunak
- Pelanggaran Merek, seperti pemalsuan atau penggunaan merek yang menyerupai merek terdaftar
- Pelanggaran Paten, seperti penggunaan atau eksploitasi invensi yang telah dipatenkan tanpa izin
- Pelanggaran Rahasia Dagang, seperti pengungkapan atau pemanfaatan informasi rahasia tanpa persetujuan pemilik
Pemilik HKI yang haknya dilanggar dapat menempuh jalur perdata untuk menuntut ganti rugi serta penghentian perbuatan melawan hukum. Hal ini ditegaskan dalam beberapa undang-undang:
- Pasal 95 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta: pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi
- Pasal 83 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis: pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran merek
- Pasal 135 UU No. 65 Tahun 2024 tentang Paten: pemegang paten berhak menuntut penghentian dan ganti rugi atas pelanggaran haknya
Jenis-jenis tuntutan perdata meliputi:
- Penghentian perbuatan melanggar hukum
- Ganti rugi atas kerugian materiil maupun immateriil
- Penyitaan atau pemusnahan barang bukti pelanggaran
- Permintaan pengumuman putusan di media massa[2]
[2] Lumbantoruan, R. (2019). Hukum Kekayaan Intelektual di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
- Pasal 113 UU Hak Cipta: pelanggaran hak ekonomi secara komersial dapat dipidana penjara hingga 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar
- Pasal 100 UU Merek: penggunaan merek secara melawan hukum dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda hingga Rp2 miliar
- Pasal 160 UU Paten (UU No. 65 Tahun 2024): pelanggaran paten dapat dikenakan pidana penjara hingga 4 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar
- Penolakan atau pembatalan permohonan HKI yang melanggar hak pihak lain
- Penyitaan dan penarikan produk dari peredaran oleh otoritas yang berwenang
- Penindakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) bekerja sama dengan lembaga lain
- Penyelesaian melalui mediasi, arbitrase, atau forum alternatif lainnya[3]
- Perpanjangan masa tenggang (grace period) menjadi 12 bulan sebelum pengajuan permohonan paten
- Pengaturan mengenai pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik
- Pemeriksaan substantif lebih awal untuk efisiensi proses
- Kewajiban pelaporan pelaksanaan paten untuk menjamin penerapan nyata dari hak paten yang diperoleh
Pelanggaran atas Hak Kekayaan Intelektual bukan hanya merugikan pemilik hak, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum dan merusak iklim investasi serta inovasi nasional. Oleh karena itu, pelindungan HKI harus menjadi perhatian serius, baik oleh pelaku usaha, kreator, maupun masyarakat luas. Dengan memahami konsekuensi hukum yang mengikutinya, diharapkan kesadaran dan kepatuhan terhadap HKI semakin meningkat, serta menjadi bagian integral dari sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.