Utang piutang merupakan salah satu bentuk perikatan yang paling lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Transaksi ini terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pinjaman antar individu, hingga kerja sama antara badan usaha. Namun, dalam praktiknya, utang piutang kerap menjadi sumber sengketa yang dominan di pengadilan. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat mengenai konsep utang piutang dalam perspektif hukum perdata menjadi sangat penting bagi setiap individu.
Apa Itu Utang Piutang?
Secara umum, Utang adalah kewajiban yang melekat pada seseorang atau badan hukum (Debitur) untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan suatu prestasi tertentu kepada pihak lain (Kreditur) dalam jangka waktu tertentu.
Sebaliknya, Piutang merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum (Kreditur) untuk menerima pembayaran sejumlah uang atau prestasi dari debitur sesuai dengan perikatan yang telah disepakati bersama.
Dasar Hukum dan Asas Timbulnya Utang Piutang
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), konsep utang piutang memiliki dasar hukum yang kuat. Berikut pasal-pasalnya antara lain:
- Pasal 1313 KUH Perdata
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. - Pasal 1754 KUH Perdata
Mengatur tentang perjanjian pinjam-meminjam yang mendefinisikan bahwa pinjam meminjam adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. - Pasal 1233 KUH Perdata
Menyebutkan bahwa perikatan lahir baik karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Syarat Sah Perjanjian Utang Piutang
Agar perjanjian utang piutang sah dan mengikat secara hukum, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sah yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
- Kesepakatan Para Pihak
Kesepakatan berarti telah adanya kehendak serta persetujuan dari kedua belah pihak untuk membuat perjanjian. Sebagaimana yang dipertegas dalam Pasal 1321 KUH Perdata, bahwa tidak ada suatu persetujuan pun yang mempunyai kekuatan dalam hal diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Kecakapan Para Pihak
Pasal 1330 KUH Perdata mengatur bahwa yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.- Suatu Hal Tertentu/Pokok Persoalan Tertentu
Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, yang dimaksud suatu hal tertentu dalam syarat sah perjanjian adalah objek perjanjian yaitu prestasi, misalnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. - Sebab yang Halal/Tidak Terlarang
Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang apabila sebab tersebut dilarang oleh undang-undang atau apabila sebab tersebut bertentangan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum.
Apabila keempat syarat tersebut terpenuhi, maka perjanjian utang piutang dianggap sah secara hukum dan memiliki kekuatan mengikat bagi kedua belah pihak.